DAMAI

Rupanya, di belakangku

nafas serigala mengintai nyata

aroma kamboja hinggap di dada doa

“dosa atau tembak!” katanya

jelas, petir itu merobek jiwa

namun darahku lebih merah memegang

kendalinya

(Zubaidah Djohar)

Tokoh aku, perempuan dalam puisi karya Zubaidah Djohar dalam satu waktu harus memilih apa yang bersedia dirampas dari dirinya. Nyawa atau kesucian. Keduanya sama berharga sehingga bagi sebagian perempuan kehilangan kesucian adalah gerbang bagi kematian. Hidup tak lagi punya arti setelah dosa yang tak diinginkan itu menyatakan dirinya, dan “Aku” lewat nafsu satu atau dua orang serdadu, bahkan mungkin lebih yang datang waktu itu dirampas kesuciannya.

Tokoh aku melakukan perlawanan yang sia-sia. Mungkin bukan perlawanan. Mungkin ia hanya berontak karena jiwanya tak ikhlas tubuhnya dinodai. Dalam tendanganku yang tak sampai / dalam cakaranku yang tak mengelupas / tubuhku dirampas! Tuhan, aku bagai najis / hingga usia senja, melarut dalam rasa / dosa yang tak selesai. Ia berontak ketika menyambut dosa yang tak diinginkannya dan yang “tak selesai” rasanya.

Puisi yang ditulis di Tanoh Indatu tanggal 28 September tahun 2008 dengan judul Inikah Damai itu, Tuan? dengan lugas menampilkan posisi perempuan Aceh yang pada masa konflik GAM dengan NKRI hingga masa berlakunya PerDa syariah di negeri Serambi Mekkah itu selalu pada sisi yang mengenaskan. Konflik dan serdadu merampas kedamaian bahkan kesucian. Lalu pada masa-masa “damai”, suatu masa dimana konflik atas nama kemerdekaan Aceh telah meredup dan karenanya para serdadu itu pergi, tokoh “Aku” masih menjalani hari-hari yang tak lebih baik. Katanya Kini / kudengar orang berkata damai telah menyapa / mataku makin buta membaca berita / kulihat istanaku dengan cahaya jiwa / setiap sudut papan tua bertemankan serangga / tungku hitam membedaki mukaku dan dipan tua / warna gelap pengap makin menyesakkan dada/.

Aceh yang dulu dan yang sekarang tak membuat perbedaan. Damai hanya terdengar desas-desusnya. “Aku” hanya mendengarnya dari orang lain, ia tahu damai itu menyapa tapi bukan padanya. “Aku” karenanya bertanya Inikah damai itu, Tuan? setelah katanya dan aku, masih tergolek di sini / di bawah damai yang mereka puja.

****

Inikah Damai itu, Tuan?

Sore itu

di bawah langit yang tak lagi jingga

segerombolan kaki bersarung laras

mendatangi desa

 

Meunasah kami basah

Tanah kami memerah

 

Mereka terus memburu

mereka tak berhenti menyapu

hingga jantung gampong kering

dalam punahnya peradaban

 

Tidak ada lagi yang bersisa

selain dengus panas yang kian gersang

menghanguskan kemanusiaan

 

Para lelaki lenyap di rimbaraya

kaum perempuan berdiri memeluk luka

sambil menyembunyikan lelaki tercinta

mereka menghadang moncong senjata

 

Aku buta sejak muncul ke dunia

bernasib tinggal bersama perempuan senja

yang kucinta. Kala itu

di depan rumah di bawah pohon nangka

kami, perempuan duduk dalam zikir duka

dari jauh terdengar bunyi tapak serempak menggila

suara lengkingan pun menghalilintar menyapa

“pulang ke rumah kalian masing-masing”

 

Ya, bagai angin kami lenyap seketika

namun darah kami masih tetap berkobar menyala

bagaimana tak bagai angin

dijawab A, akan kelabulah jiwa

dijawab B, akan ungulah dada

pun berhenti, akan mengundang tanya

yang membiru

lebih baik kami terbang tanpa kata

membiarkan pikiran dalam strategi

yang membara

 

Rupanya, di belakangku

nafas serigala mengintai nyata

aroma kamboja hinggap di dada doa

“dosa atau tembak!” katanya

jelas, petir itu merobek jiwa

namun darahku lebih merah memegang

kendalinya

 

Dalam tendanganku yang tak sampai

dalam cakarku yang tak mengelupas

tubuhku dirampas! Tuhan, aku bagai najis

hingga usia senja, melarut dalam rasa

dosa yang tak selesai

 

Kini,

kudengar orang berkata damai telah menyapa

mataku makin buta membaca berita

kulihat istanaku dengan cahaya jiwa

setiap sudut papan tua bertemankan serangga

tungku hitam membedaki mukaku dan dipan tua

warna gelap pengap dada

dan aku, masih tergolek di sini

di bawah damai yang  mereka puja

 

Inikah damai itu, Tuan?


Tanoh Indatu, 28 September 2008

(Zubaidah Djohar)

------------------------

gampong: kampung (dalam bahasa Aceh)

meunasah: mushalla (dalam bahasa Aceh)

****

Rafa’El Loiss

Komentar

Postingan Populer