PAMRIH
Aku duduk dan membaca pagi ini. Udara hangat di sekitarku benar-benar membuat nyaman, namun apa yang terjadi di dalam diriku sangat berbeda. Biasanya aku betah membaca buku sambil berhangat-hangatan di bawah terpaan cahaya matahari pagi atau sore. Namun, ada semacam perasaan urgen yang menggerakkanku beranjak dari kursi yang dudukan dan sandarannya terbuat dari bahan kayu sementara kerangkanya sepenuhnya dari besi.
Uergensi untuk segera
menulis itu menggangguku. Aku digugat oleh sesuatu dari dalam diriku. “Kamu
sudah terlalu banyak membaca” katanya. “Membaca tidak menghasilkan uang”, ah
sepagi ini aku sudah jadi prgamatis. Ya, memang saat ini uang memenuhi sebagian
besar pikiranku dan perasaan ingin akan uang mendominasi emosiku.
Uang uang uang dan uang. Ahhh,
aku jadi ingat lagu tentang uang yang dilantunkan Cinta Laura artis berdarah
Jerman itu. Uang bukan segalanya namun menggerakan hampir segalanya. Uang
membuat seimbang hampir segalanya dan ketidakadilan seringkali diukur dengan
nilai uang. Uang membuat langgeng hampir segalanya diantaranya kekuasaan, hubungan
pacaran, kawin kontrak, dan sewa kost.
Uang membuat hidup lebih
menggairahkan, meskipun bukan satu-satunya pemicu bagi kegairahan, tetapi
bayangkan bagaimana seorang yang suka menulis tiba-tiba kehilangan gairah
menulis di akhir bulan dimana persediaan uang semakin menipis atau bahkan sudah
tidak tersisa. Uang menggerakan para seniman untuk nyeni dan hasilnya kebanyakan
barang seni diukur dengan nilai uang. Segala sesuatu yang serba uang ini kemudian
diidentifikasi sebagai kapitalis.
Kapitalis membuat hampir
segala hal diukur dengan uang, tak hanya barang, moralpun jadi punya nilai uang
setelah disederhanakan dengan istilah jasa, seperti jasa membunuh, jasa seks, dan
jasa kawin kontrak. Semua jadi serba uang dan karenanya tindakan sukarela
dianggap bodoh. Maka di jaman berjayanya kapitalis ini seseorang dibikin paham
bahwa apapun yang ada padanya bisa dijual-belikan dengan dan tanpa persetujuannya
seperti foto bugil, kontak telepon, pena bekas, waktu, radio tua di gudang, bahkan
keangkuhan dapat dijual-belikan. Kita jadinya boleh angkuh di depan yang miskin
dan sisi lain boleh taksim di depan yang kaya.
Moral kapitalis dengan
demikian punya satu buku petunjuk yaitu catatan akuntansi dimana untung rugi
dihitung dengan cermat atau dengan emosional dalam hubungan-hubungan antar
manusia. Pamrihlah kata Gede Adiatma Pinurbo Jokosuloyo Singodikasur (bukan
nama sebenarnya) yang menggerakkan manusia.
Rafa’El Loiss

Komentar
Posting Komentar